Hijau sayur bayam dan merah cabai, berpadu indah dengan warung bertembok kuning yang terlihat sederhana. Sudah tujuh tahun pria bertubuh gempal yang akrab disapa Bang Iki itu berjualan sayur di sebuah kompleks perumahan di Duren Sawit, Jakarta Timur.
“Mulai [dari] yang dorongan sampai punya kios di situ,” cerita Riski Ari Permana, 26 tahun, sambil ditemani sang Istri.
Mungkin tidak pernah terpikirkan olehnya, akan ada sebuah wabah yang memaksanya untuk beradaptasi agar bisa terus menafkahi keluarganya. Tetapi, pada 2020, sebuah pandemi bernama Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19 mengguncang kota-kota besar di dunia, termasuk Jakarta.
Mereka yang berusaha menyambung hidup dengan berdagang, dihadapkan dengan ketakutan tidak bisa menjual barang dagangan mereka kepada para pembeli, para pelanggan yang sebelumnya setia mengunjungi mereka. Tidak hanya untuk membeli tapi juga bercengkerama, berbagi cerita.
[Kita Tak Sendiri Saat Menghadapi Pandemi]
Beradaptasi Ala Bang Iki
Enggan larut dalam kecemasan, Bang Iki tak mau berdiam diri. Beradaptasi, itu jalan yang ia pilih. Usai mendengar pengumuman adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari pemerintah, ia segera mengeluarkan telepon pintarnya. Dengan lincah jari jemarinya mengetikkan sesuatu.
“Buat yang mau pesen sayur, buah, ikan, boleh yah. Siap antar sampai rumah,” tulisnya di WhatsApp.
Meski pendidikannya terhenti di jenjang SMP, ia tahu betul tentang bahaya penularan virus korona ini. Dengan inisiatif sendiri, Bang Iki pun menerapkan aturan pembatasan fisik di warungnya. Tentunya demi kesehatan dirinya dan para pelanggan setianya.
“Karena kan nggak boleh berkerumun, jadi aku anjurin lima orang, lima orang,” terangnya. “Kita juga nganjurin buat mencuci tangan sebelum dan sesudah berbelanja. Kita siapin tempatnya.”
Sayangnya, belum semua bisa mengikuti instruksi Bang Iki. Dengan sabar, ia berusaha menjelaskan alasan mengapa ada aturan seperti itu.
“Namanya manusia, ya kadang-kadang ada juga yang ngeyel. Disuruh antri lima orang, tapi katanya ‘lagi buru-buru, Mas, lagi buru-buru’,” ujarnya sambil meniru ucapan dari pelanggan yang ngeyel itu.
Sementara buat mereka yang tetap di rumah, Bang Iki dengan ulet menyalin setiap pesanan yang ia terima dari sebuah chat ke dalam secarik kertas. “Ceker, kepala ayam, sop-sop-an, lengkuas, daun salam,” itulah penggalan pesanan dari salah satu pelanggan bernama Ibu Yanti. Demi kepuasan pelanggan, jika tidak ada di warungnya, Bang Iki tak segan pergi berbelanja dan mencarinya hingga ketemu. Semua itu ia lakukan juga agar pelanggan tetap tidak keluar rumah.
“Responnya lumayan juga, Alhamdulillah. Jadi orang nggak usah keluar rumah, kita yang anter,” kata Iki yang senang dengan reaksi dari para pembeli. “Berawal dari satu, eh, tetangganya juga pada minta-minta, ya, dari mulut ke mulut akhirnya, pada pesen semua.”
Inisiatif Bang Iki bukan tanpa tantangan atau kesulitan. Deru suara motor yang ia kendarai terkadang harus terhenti di depan portal lockdown yang menghalangi lajunya saat mengantar pesanan. Tidak mau menyerah, ia berputar dan mencari rute lain, hingga akhirnya bisa berdiri di depan rumah sang pembeli.
Sambil mengenakan masker kain bermotif batik, dua sampai tiga kantong plastik berisi bahan pokok ia serahkan lewat atas pagar rumah pemesan.
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, warung miliknya sudah tutup, tapi langkah Bang Iki belum berhenti. Ia menyusuri gang-gang kecil, menghampiri satu demi satu rumah pemesan berikutnya. Ia tidak sendirian. Selain istri yang menjaga warung, ia juga dibantu dua adik dalam memenuhi pesanan.
Bang Iki bersyukur, setelah bisa beradaptasi di tengah badai korona, omzet dari penjualan sayurnya yang berkisar Rp2,5 juta per hari bisa tetap mengalir. Namun, ia tidak lupa memikirkan nasib rekan-rekan pedagang lain yang mungkin tidak seberuntung dia.
Pesan dan Harapan
Hari semakin malam, telepon Bang Iki kembali berdering oleh bunyi notifikasi dari akun WhatsApp miliknya. Pesanan untuk esok hari. Sebelum kami berpisah, Bang Iki menitipkan pesan dan masukan buat masyarakat dan pemerintah Jakarta.
“Yang penting, pesennya sih kita ngikut aja apa yang dipingin pemerintah, pokoknya itu pasti baik buat kita kok. Yang penting ya nurut gitu. Namanya juga wabah, pasti suatu saat selesai. Seperti biasa lagi,” ucapnya sambil berharap.
“Buat para pemerintah,lebih memotivasi lagi manusia-manusianya. Yang susah di situ.
“Kebanyakan kalau anak-anak muda sekarang udah mengertilah, anak-anak muda sekarang kan sering-sering buka gadget. Yang agak susah ya orang-orang tua ini. Ya mungkin karena mereka nggak pernah buka HP, terus di televisi juga kurang. Ya mungkin harus diperintahin dari pemerintah langsung ke RT/RW-nya, disosialisasiin lagi.
“Atau mungkin bisa dibikin semacem tim sukses buat sosialisasi lebih. Misalnya keliling satu kelurahan, disosialisasiin ke warga-warga. Karena mungkin mereka akan lebih mengerti kalau ada orang yang ngasih tahu daripada lewat media,” tutupnya.