Pada awal kelahiran teknologi komputer, seorang programmer harus menulis berbaris-baris kode dan algoritma hanya untuk mengerjakan tugas atau task tertentu. Namun, dengan semakin banyak variasi fungsi yang saat ini bisa dikerjakan komputer--bahkan handphone--modern, cara tradisional seperti itu menjadi kurang efisien serta tidak praktis. Apalagi jika tugas tersebut membutuhkan kumpulan data yang besar dan secara rutin diperbarui. Alasan inilah mengapa teknologi berbasis machine learning diadopsi.
Apa itu Machine Learning?
Machine learning merupakan implementasi ilmu Artificial Intelligence (Kecerdasan Buatan). Sesuai namanya, AI berfokus pada pembelajaran yang dilakukan oleh mesin/komputer itu sendiri. Walaupun begitu, campur tangan manusia masih dibutuhkan. Namun, melalui konsep ini, programmer tidak perlu lagi melewati proses rumit dan berbelit, yakni membuat kode secara eksplisit satu per satu.
Cukup dengan satu model perhitungan, machine learning memungkinkan komputer untuk mengoptimalkan hasil dengan pembelajaran dari data atau pengalaman sebelumnya (past experience). Model yang dibuat bisa bersifat prediktif untuk menghasilkan sebuah prediksi di masa depan, ataupun deskriptif untuk mendapatkan informasi dari data yang dipelajari.
Diagram Cara Kerja Machine Learning (ML)
Sumber: Corpnce
Nah, sekarang apa contoh sederhana dari penerapan machine learning yang kamu ketahui? Tidak perlu jauh-jauh, Smartcitizen, karena kamu cukup mengecek alamat email-mu. Kamu pasti tahu tentang fitur penyaring spam, bukan? Ya, fitur ini adalah salah satu contoh awal dalam penerapan beragam teknik machine learning. Metode ini digunakan oleh para penyedia jasa email seperti Gmail dan Yahoo Mail untuk mengidentifikasi email spam dengan menganalisis email-email serupa di sebuah komputer.
CLM Machine Learning untuk Uji Risiko Gejala Korona
Seiring dengan perkembangan kasus korona di Ibu Kota, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus melakukan langkah mitigasi untuk menekan laju penyebaran pandemi Covid-19. Dalam pelaksanaannya, Pemprov juga memanfaatkan sistem teknologi informasi seperti Corona Likelihood Metric atau CLM, melalui kolaborasi bersama Harvard CLM Team dan Klakklik.ID. Alat uji risiko ini ada dalam aplikasi JAKI (Jakarta Kini), sebagai fitur terbaru bernama JakCLM. Warga yang berdomisili di Jakarta maupun sekadar beraktivitas di Jakarta dapat menggunakannya, untuk menghitung risiko terjangkit virus korona.
Secara kasat mata, tampilan CLM mungkin tidak jauh berbeda dengan tes-tes gejala yang sudah lebih dulu beredar di masyarakat. Namun, satu keunggulan yang saat ini hanya dimiliki CLM adalah pemanfaatan teknologi machine learning. Melalui cara ini, CLM dapat mengolah jawaban yang diberikan pengguna, kemudian memberikan hasil tes beserta rekomendasi tindakan medis yang paling sesuai, termasuk rekomendasi untuk tes swab/PCR (Polymerase Chain Reaction) jika sesuai kriteria.
Cara Kerja Machine Learning dalam CLM
Bahrul Ilmi Nasution, relawan data lulusan Politeknik Statistika STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Statistik) yang tergabung dalam Harvard CLM Team, menjelaskan bahwa pemanfaatan teknologi machine learning telah memungkinkan CLM untuk memberikan hasil tes dengan sensitivitas yang tinggi.
“Dengan menggunakan teknologi machine learning, CLM memiliki kelebihan dalam hal scalability. Dengan kata lain, CLM dapat digunakan oleh seluruh masyarakat tanpa perlu mengkhawatirkan biaya atau stok terbatas. Selain itu, CLM yang di-develop menggunakan data pasien Jakarta yang terkumpul ini memiliki nilai akurasi dan sensitivitas yang cukup baik,” terangnya.
Dalam pengolahan jawaban yang diberikan pengguna, CLM secara garis besar memakai tiga tipe data yang menjadi acuan atau referensi, yakni kondisi demografi (usia, jenis kelamin), riwayat gejala Covid-19 dalam 14 hari terakhir, serta riwayat pasien (perjalanan, kontak, kunjungan ke fasilitas kesehatan, dan petugas kesehatan).
Selain itu, model machine learning CLM juga sudah dilatih dengan data riwayat kesehatan pasien yang pernah diperiksa oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan teridentifikasi Covid-19 untuk meningkatkan akurasi.
“Jadi, pada awalnya, orang tersebut mengisi kuesioner yang terdapat di dalam aplikasi JakCLM. Setelah itu, data yang diperlukan dikirimkan ke dalam application programming interface (API) CLM untuk diolah dengan model machine learning,” papar Bahrul tentang proses pengolahan jawaban pengguna CLM.
“Model machine learning ini sudah dilatih berdasarkan data ribuan pasien Covid-19 lainnya. Ketika mesin tersebut diberikan data pengguna baru, mesin ini kemudian akan memberikan prediksi ‘seberapa besar kemungkinan pengguna ini mengidap Covid-19’ dalam bentuk persentase 0-100%. Nilai tersebut akan di-convert menjadi tiga kategori risiko: rendah, sedang, dan tinggi,” tambah Bahrul.
Selama proses pembuatan model machine learning CLM, Bahrul tidak sendiri. Ia bekerja sama dengan Jessica Audrey Wijaya, mahasiswa Harvard University yang kini sedang menempuh program Master of Science in Data Science.
[Jakarta X Harvard CLM Team: Kolaborasi Ciptakan Cek Mandiri COVID-19]
Menjawab Pertanyaan Seputar Machine Learning
Bahrul menyadari, teknologi machine learning masih cukup asing di telinga masyarakat. Contohnya saja, pada awal pemakaian JakCLM, sejumlah pengguna bertanya mengapa mereka mendapatkan hasil tidak aman, meski sama sekali tidak merasakan gejala Covid-19. Bahrul menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan kembali menjelaskan bahwa machine learning CLM menggunakan data secara menyeluruh, tidak serta-merta mengandalkan informasi seputar gejala Covid-19 saja.
“Kemungkinan Covid-19 seorang pemuda berumur 20 tahun yang memiliki/tidak memiliki gejala itu sangat berbeda dengan seorang nenek berumur 70 tahun yang memiliki/tidak memiliki gejala yang sama. Contoh lain, kemungkinan Covid-19 pemuda tidak bergejala tersebut pun pada dasarnya akan berbeda dengan seorang petugas kesehatan yang tidak bergejala. Seorang petugas kesehatan yang menangani pasien di rumah sakit pada dasarnya memiliki risiko lebih tinggi. Oleh sebab itu, kita harus melihat data pengguna tersebut secara menyeluruh, bukan hanya gejala secara spesifik,” jelas Bahrul.
“Kedua, skor yang dihasilkan model CLM ini juga relatif. Tidak ada jawaban yang benar dan salah dalam mengkategorisasikan suatu skor menjadi kategori risiko rendah (aman), risiko sedang, atau risiko tinggi. Proses konversi skor ke dalam tiga kategori (risiko rendah, sedang, tinggi) kami beberapa saat yang lalu bisa terbilang sangat strict (ketat dan konservatif). Setelah diskusi lebih lanjut, kami pun memutuskan untuk merelaksasikan proses ini dengan menaikkan ambang risiko rendah dan sedang, yang seharusnya dapat menenangkan kekhawatiran masyarakat tersebut,” tambahnya.
Smartcitizen, sekarang kamu tahu kan seperti apa proses di balik layar CLM saat mengolah data? Ya, meski tidak terlihat, kamu perlu tahu bahwa teknologi machine learning CLM sangatlah membantu dalam menghitung seberapa besar risiko kamu terjangkit Covid-19. Jadi jangan lupa untuk mengecek gejala di CLM secara berkala, ya. Ajak juga teman, kerabat, dan anggota keluarga dekatmu untuk bersama-sama memanfaatkannya. Selain itu, yuk terus menekan penyebaran pandemi korona, dengan rutin menerapkan 3M: Mencuci tangan, Memakai masker, Menjaga jarak. Perjuangan menuju kota Jakarta yang sehat dan bersih ada di tangan kita semua!