LAYANAN DARURAT COVID-19
112
0813 8837 6955

Beranda > Artikel > Pak Gatra dan Satpol PP: Pengalaman Berpatroli Selama Pandemi

Pak Gatra dan Satpol PP: Pengalaman Berpatroli Selama Pandemi

Nadhif Seto Sanubari

06 Mei 2020

Pada 10 April 2020, Bapak Anies Baswedan menetapkan Peraturan Gubernur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bagi seluruh masyarakat Jakarta. Selain sejumlah pengecualian, semua usaha ditutup dan karyawan diimbau untuk bekerja dari rumah. Moda transportasi umum dan ojol dibatasi, di samping warga dilarang berkerumun di luar rumah lebih dari lima orang. Para anggota Satpol PP pun ditugaskan untuk menegakkan aturan-aturan tersebut, salah seorang di antaranya adalah Pak Gatra.

Enam bulan lalu ia mengenakan seragam Satpol PP untuk pertama kalinya, setelah bertugas di Kelurahan Bendungan Hilir. Saat itu tak terbayang dalam benaknya, dunia akan dilanda wabah Covid-19 yang membuatnya harus membubarkan bocah-bocah bermain sepak bola di lapangan, atau meminta para pelanggan rumah makan untuk kembali ke rumah masing-masing. 


(Foto: Pak Gatra)

Setiap hari, pria berusia 33 tahun ini berpamitan kepada istri dan kedua anaknya di rumah, untuk berpatroli di jalan-jalan ibu kota yang jauh lebih sepi daripada biasanya pada masa PSBB. Walaupun sadar risiko yang dihadapi, tugas ini sama sekali tak menggoyahkan semangat Pak Gatra.

“Kalau kita baca teori [mengenai COVID-19], pasti mempengaruhi [perasaan saat bertugas], ya. Tapi kalau pekerjaan dibandingkan dengan informasi virus, bukannya saya masa bodoh. Saya bekerja bukan untuk saya pribadi, tapi untuk masyarakat,” ujarnya.

Selama berpatroli di wilayah Jakarta Pusat, Pak Gatra menjalankan tiga tugas utama Satpol PP: sosialisasi, pengimbauan, dan penindakan. Ia menyaksikan sendiri stigma terhadap mereka yang dikategorikan sebagai ODP (Orang Dalam Pemantauan), atau usaha-usaha yang masih tetap buka walaupun PSBB sudah berlaku. Menurutnya, hal itu karena pengetahuan yang minim mengenai COVID-19, sehingga penting sosialisasi tentang informasi tersebut.

“Kita menyampaikan bahwa pesan-pesan PSBB ini bukan hanya semacam peraturan gubernur yang hitam di atas putih saja, tapi impact dari pemberlakuan PSBB ini manfaatnya buat kita bersama,” jelas Pak Gatra. “Kalau seandainya kita sama-sama tidak disiplin, hanya melihat aturan ini seperti ‘Ah, itu kan cuma untuk orang di perkantoran atau di pusat kota,’ tentunya pandemi ini nggak bisa cepat terselesaikan,” tambahnya.

Kucing-Kucingan di Jalan Pecenongan

Pada hari-hari awal pemberlakuan PSBB, ia sempat diturunkan ke Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat di mana sejumlah usaha kuliner masih beroperasi. Pak Gatra beserta rekan-rekan Satpol PP mengimbau para pemilik restoran hanya melayani pesanan untuk dibawa ke rumah. Karyawan-karyawan restoran pun melipat meja dan kursi sebagai penanda agar pelanggan tak menyantap makanan di tempat. Kendati demikian, ia masih sering melihat pemilik rumah makan serta pelanggannya yang secara sengaja melanggar peraturan dengan sembunyi-sembunyi.


(Foto: Pak Gatra)

“Ada yang pura-pura, bahasa gaulnya ‘pura-pura gila’ gitu, ya. Bangkunya dilipat, mejanya digulung. Tapi begitu kita mengimbau ke tempat lain, mejanya dibuka lagi,” tutur Pak Gatra sambil tertawa. “Mereka sudah tahu, sudah kita bilang ketiga atau keempat kalinya. Masih aja ada yang makan di situ, sambil berdiri terus makanannya di-umpetin. Ngumpet-ngumpet, kucing-kucingan,” imbuhnya.

Selain menghadapi karyawan dan pelanggan di rumah makan, pengalaman patroli Pak Gatra selama pandemi cukup berwarna-warni. Dari anak-anak bermain sepak bola di lapangan yang memaki-maki para petugas Satpol PP dari jauh tapi kabur ketika didekati, hingga sopir-sopir ojol yang berkerumun menunggu penumpang. Walaupun layanan ojol masih diperbolehkan, mereka hanya dibatasi untuk mengantar makanan atau barang, bukan orang. Mereka juga kerap melanggar aturan PSBB karena berkumpul lebih dari lima orang. Kadang penegakan peraturan ini berakhir dengan perdebatan antara Satpol PP dan para pengemudi ojol. Namun para petugas selalu mencoba untuk menyampaikan pesan dengan baik, sehingga pengemudi ojol akhirnya patuh meski dengan berat hati. 

“Kalau nggak kerja, saya mau makan apa, Pak?” kata Pak Gatra mengutip gerutuan para sopir ojol yang terpaksa memindahkan motor-motor mereka.

Pengimbauan Rumah Ibadah

Yang sering bermasalah pula adalah penanganan terhadap ibadah massal seperti di masjid atau gereja. Menurut Pak Gatra, mengimbau bubar kerumunan orang di jalan lebih mudah ketimbang di tempat ibadah. Karena agama merupakan topik yang sensitif, Satpol PP mendatangi lurah, camat, dan tokoh agama setempat untuk mendiskusikan penerapan PSBB di tempat ibadah. Ada beberapa masjid yang sudah ditutup, tapi masih diminta warga untuk dibuka buat sholat Jumat.

“Kejadiannya unik juga,” tutur Pak Gatra, “Ada masjid yang sudah memasang spanduk ‘Tidak Menyediakan Sholat Jumat’, tapi seperti ditodong masyarakat untuk dibuka, karena menurut mereka, jamaah sudah cukup berjumlah empat puluh. Banyak cerita dari para pengurus masjid yang mengalami dilema seperti itu.”

Walaupun demikian, sebagian besar tempat ibadah di Jakarta sudah mematuhi peraturan PSBB. Menurut rekap data Satpol PP, seminggu setelah pemberlakuan PSBB, hanya tiga dari sekitar dua ratus masjid di Jakarta Pusat yang masih buka. 


(Foto: Pak Gatra)

Akhir Pandemi di Tangan Warga

Pak Gatra sangat percaya, cepat atau tidaknya masalah pandemi terselesaikan tergantung kepada warga sendiri. Karena itu ia mengimbau masyarakat untuk memanfaatkan kanal pelaporan yang tersedia, untuk mengadukan kerumunan warga misalnya. Menurutnya, laporan langsung dari warga sangat membantu dalam menangani masalah ini. Ia yakin, pemerintah akan membantu sebisa mereka, namun pada akhirnya kedisiplinan masyarakatlah yang menentukan kapan pandemi ini akan berakhir.

“Sebenarnya, pemerintah sudah peduli kepada masyarakat, kepada warganya. [Mereka] sudah menyediakan fasilitas kesehatan, sudah mensuplai bantuan-bantuan,” tegas Pak Gatra, “Ini semua tergantung masyarakat. Jadi apa dulu yang menjadi skala prioritas? Kesehatankah, atau pribadi dalam arti ekonomi?”

JAKI
Laporan Warga

Bagikan :


Penulis

Nadhif Seto Sanubari

Penulis dan penerjemah alumni Universitas Bina Nusantara, dengan pengalaman internasional di University of Bradford, UK dan Deakin University, Australia.

Artikel Terkait

Tiga Program Bantuan Pemprov DKI Jakarta Selama Pandemi Covid-19

30 Agustus 2020

Rangkuman Solusi untuk Kendala Vaksinasi Booster Covid-19

03 Februari 2022

Sepeda: Transportasi Terbaik di Masa Pandemi

15 Juli 2020

Lebih Aman Berwisata di Jakarta dengan Jejak

03 Juni 2021

Menyambangi Wajah Baru Sarinah

05 April 2022