Pada 10 April 2020, Bapak Anies Baswedan menetapkan
Peraturan Gubernur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bagi
seluruh masyarakat Jakarta. Selain sejumlah pengecualian, semua usaha
ditutup dan karyawan diimbau untuk bekerja dari rumah. Moda transportasi
umum dan ojol dibatasi, di samping warga dilarang berkerumun di luar
rumah lebih dari lima orang. Para anggota Satpol PP pun ditugaskan untuk
menegakkan aturan-aturan tersebut, salah seorang di antaranya adalah
Pak Gatra.
Enam bulan lalu ia mengenakan seragam Satpol PP untuk
pertama kalinya, setelah bertugas di Kelurahan Bendungan Hilir. Saat itu
tak terbayang dalam benaknya, dunia akan dilanda wabah Covid-19 yang
membuatnya harus membubarkan bocah-bocah bermain sepak bola di lapangan,
atau meminta para pelanggan rumah makan untuk kembali ke rumah
masing-masing.
(Foto: Pak Gatra)
Setiap hari, pria berusia 33 tahun ini berpamitan kepada
istri dan kedua anaknya di rumah, untuk berpatroli di jalan-jalan ibu
kota yang jauh lebih sepi daripada biasanya pada masa PSBB. Walaupun
sadar risiko yang dihadapi, tugas ini sama sekali tak menggoyahkan
semangat Pak Gatra.
“Kalau kita baca teori [mengenai COVID-19], pasti
mempengaruhi [perasaan saat bertugas], ya. Tapi kalau pekerjaan
dibandingkan dengan informasi virus, bukannya saya masa bodoh. Saya
bekerja bukan untuk saya pribadi, tapi untuk masyarakat,” ujarnya.
Selama berpatroli di wilayah Jakarta Pusat, Pak Gatra
menjalankan tiga tugas utama Satpol PP: sosialisasi, pengimbauan, dan
penindakan. Ia menyaksikan sendiri stigma terhadap mereka yang
dikategorikan sebagai ODP (Orang Dalam Pemantauan), atau usaha-usaha
yang masih tetap buka walaupun PSBB sudah berlaku. Menurutnya, hal itu
karena pengetahuan yang minim mengenai COVID-19, sehingga penting
sosialisasi tentang informasi tersebut.
“Kita menyampaikan bahwa pesan-pesan PSBB ini bukan hanya
semacam peraturan gubernur yang hitam di atas putih saja, tapi impact
dari pemberlakuan PSBB ini manfaatnya buat kita bersama,” jelas Pak
Gatra. “Kalau seandainya kita sama-sama tidak disiplin, hanya melihat
aturan ini seperti ‘Ah, itu kan cuma untuk orang di perkantoran atau di
pusat kota,’ tentunya pandemi ini nggak bisa cepat terselesaikan,”
tambahnya.
Kucing-Kucingan di Jalan Pecenongan
Pada hari-hari awal pemberlakuan PSBB, ia sempat diturunkan
ke Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat di mana sejumlah usaha kuliner masih
beroperasi. Pak Gatra beserta rekan-rekan Satpol PP mengimbau para
pemilik restoran hanya melayani pesanan untuk dibawa ke rumah.
Karyawan-karyawan restoran pun melipat meja dan kursi sebagai penanda
agar pelanggan tak menyantap makanan di tempat. Kendati demikian, ia
masih sering melihat pemilik rumah makan serta pelanggannya yang secara
sengaja melanggar peraturan dengan sembunyi-sembunyi.
(Foto: Pak Gatra)
“Ada yang pura-pura, bahasa gaulnya ‘pura-pura gila’ gitu,
ya. Bangkunya dilipat, mejanya digulung. Tapi begitu kita mengimbau ke
tempat lain, mejanya dibuka lagi,” tutur Pak Gatra sambil tertawa.
“Mereka sudah tahu, sudah kita bilang ketiga atau keempat kalinya. Masih
aja ada yang makan di situ, sambil berdiri terus makanannya di-umpetin. Ngumpet-ngumpet, kucing-kucingan,” imbuhnya.
Selain menghadapi karyawan dan pelanggan di rumah makan,
pengalaman patroli Pak Gatra selama pandemi cukup berwarna-warni. Dari
anak-anak bermain sepak bola di lapangan yang memaki-maki para petugas
Satpol PP dari jauh tapi kabur ketika didekati, hingga sopir-sopir ojol
yang berkerumun menunggu penumpang. Walaupun layanan ojol masih
diperbolehkan, mereka hanya dibatasi untuk mengantar makanan atau
barang, bukan orang. Mereka juga kerap melanggar aturan PSBB karena
berkumpul lebih dari lima orang. Kadang penegakan peraturan ini berakhir
dengan perdebatan antara Satpol PP dan para pengemudi ojol. Namun para
petugas selalu mencoba untuk menyampaikan pesan dengan baik, sehingga
pengemudi ojol akhirnya patuh meski dengan berat hati.
“Kalau nggak kerja, saya mau makan apa, Pak?” kata Pak
Gatra mengutip gerutuan para sopir ojol yang terpaksa memindahkan
motor-motor mereka.
Pengimbauan Rumah Ibadah
Yang sering bermasalah pula adalah penanganan terhadap
ibadah massal seperti di masjid atau gereja. Menurut Pak Gatra,
mengimbau bubar kerumunan orang di jalan lebih mudah ketimbang di tempat
ibadah. Karena agama merupakan topik yang sensitif, Satpol PP
mendatangi lurah, camat, dan tokoh agama setempat untuk mendiskusikan
penerapan PSBB di tempat ibadah. Ada beberapa masjid yang sudah ditutup,
tapi masih diminta warga untuk dibuka buat sholat Jumat.
“Kejadiannya unik juga,” tutur Pak Gatra, “Ada masjid yang
sudah memasang spanduk ‘Tidak Menyediakan Sholat Jumat’, tapi seperti
ditodong masyarakat untuk dibuka, karena menurut mereka, jamaah sudah
cukup berjumlah empat puluh. Banyak cerita dari para pengurus masjid
yang mengalami dilema seperti itu.”
Walaupun demikian, sebagian besar tempat ibadah di Jakarta
sudah mematuhi peraturan PSBB. Menurut rekap data Satpol PP, seminggu
setelah pemberlakuan PSBB, hanya tiga dari sekitar dua ratus masjid di
Jakarta Pusat yang masih buka.
(Foto: Pak Gatra)
Akhir Pandemi di Tangan Warga
Pak Gatra sangat percaya, cepat atau tidaknya masalah
pandemi terselesaikan tergantung kepada warga sendiri. Karena itu ia
mengimbau masyarakat untuk memanfaatkan kanal pelaporan yang tersedia,
untuk mengadukan kerumunan warga misalnya. Menurutnya, laporan langsung
dari warga sangat membantu dalam menangani masalah ini. Ia yakin,
pemerintah akan membantu sebisa mereka, namun pada akhirnya kedisiplinan
masyarakatlah yang menentukan kapan pandemi ini akan berakhir.
“Sebenarnya, pemerintah sudah peduli kepada masyarakat,
kepada warganya. [Mereka] sudah menyediakan fasilitas kesehatan, sudah
mensuplai bantuan-bantuan,” tegas Pak Gatra, “Ini semua tergantung
masyarakat. Jadi apa dulu yang menjadi skala prioritas? Kesehatankah,
atau pribadi dalam arti ekonomi?”