LAYANAN DARURAT COVID-19
112
0813 8837 6955

Beranda > Artikel > Cerita-Cerita Perjuangan di Garis Terdepan Covid-19

Cerita-Cerita Perjuangan di Garis Terdepan Covid-19

Teresa Simorangkir

14 Juli 2021

2 Maret 2021 lalu, Corona berulang tahun yang pertama di Indonesia. Berbanding terbalik dengan perayaan ulang tahun yang dipenuhi ucapan syukur dan ungkapan bahagia, ulang tahun Corona dibanjiri ungkapan kesal orang-orang. Corona sudah terlalu ekstrem mengubah hidup banyak orang, bahkan mengantarkan pada kematian.

Kasus positif yang meningkat tajam membuat banyak orang kalut, putus asa, dan marah. Tak terkecuali mereka yang bertarung di barisan terdepan, para tenaga kesehatan. Ibarat arena perang, keselamatan tenaga kesehatan (nakes) dipertaruhkan saat ini. Kerap kali ketenangan pikiran mereka pun terusik saat sedang menjalankan tugas. Inilah kisah beberapa nakes yang berjuang selama masa pandemi.

A. M. Widyantoro, A.Md. Kep — Puskesmas Grogol Petamburan

Smartcitizen ingat kan, saat awal pandemi, nakes sampai harus menggunakan jas hujan saat bertugas akibat kekurangan stok Alat Pelindung Diri (APD)? Yup, Pak Widy adalah salah satu yang mengalaminya.

“Saya sempat merasakan harus memakai jas hujan itu. Padahal enggak hujan,” ucapnya berkelakar. “Dulu masker juga sempat jumlahnya terbatas. Masker N95 dipakai berulang-ulang sebanyak delapan kali, lalu hanya disterilisasi dengan UV (ultraviolet). Tapi, sekarang masalahnya bukan itu. Sekarang yang dihadapi adalah jumlah nakes yang berkurang. Bahkan, ada nakes yang benar-benar bekerja selama 24 jam. Padahal, kami harus menjaga imun, karena risiko tertular yang amat besar,” jelasnya.

Selain jumlah nakes yang semakin berkurang, kemunculan varian Delta pun membuat beban nakes kian berat. Seperti kita tahu, saat ini varian Delta makin merebak, akibat penyebarannya yang lebih cepat dibanding varian sebelumnya.

“Terkadang pasien tidak memiliki gejala. Namun, kondisinya bisa tiba-tiba memburuk. Di tempat saya, setiap hari ada pasien yang datang dengan saturasi hanya sekitar 70–80%. Dan ini dari beragam usia, bahkan ada yang usianya sekitar 20 tahun. Mereka datang ke sini karena rumah sakit yang penuh. Padahal, tindakan yang bisa dilakukan di Puskesmas pun terbatas,” ungkapnya.

Tak hanya bertugas merawat pasien di Puskesmas, sekarang tanggung jawab Pak Widy juga bertambah. Ia bertugas melakukan pemulasaran jenazah.

“Awalnya, pemulasaran jenazah hanya dilakukan oleh Tim Monas. Tapi, karena di sana pun sudah kewalahan, akhirnya Puskesmas harus turun tangan dan membentuk tim sendiri. Setiap hari minimal ada tiga sampai empat orang yang meninggal, dan memang seperti itu kenyataannya. Bahkan, kami juga sempat kehabisan peti jenazah. Jadi, sekarang saya tak hanya mengurus pasien Covid, tapi juga jenazah Covid,” katanya getir.

Melalui cerita Pak Widy, kita bisa membayangkan, saat ini keseharian hidup nakes hanya untuk bekerja. Tidak ada waktu untuk beristirahat. Belum lagi disinformasi yang beredar di media sosial dan masyarakat yang tidak teredukasi dengan baik, sungguh menguji ketabahan hati para nakes. Kelelahan yang dirasakan tak hanya soal fisik, tapi juga mental. Ini tentu bukan kondisi yang normal, karena nakes harus selalu sehat dan tenang pikirannya saat bekerja.

“Edukasi ke masyarakat sudah sulit, karena mulai menganggap Covid-19 adalah hal yang biasa. Kenyataannya, ini adalah kondisi dahsyat, karena kasus sekarang lebih banyak dibanding di awal,” lanjutnya. “Kita udah kerja capek-capek, mati-matian. Terus buka media sosial, aduh rasanya pengen buang handphone!” keluhnya sambil tertawa miris.

Suatu hari, Pak Widy pernah mendengar pula celotehan ngawur saat membeli makanan, “Hati-hati kalau ke rumah sakit, nanti di-Covid-kan!” Merasa tergelitik mendengarnya, ia mencoba meluruskan. “Sambil tahan ketawa, ya, saya jelaskan dengan cara saya. Di akhir dia bilang, ‘Ini bungkus buat keluarga bapak, bapak enggak perlu bayar.’ Mungkin dia merasa bersalah karena sudah bicara seperti itu, atau mungkin iba mendengar cerita saya. Agak lucu memang,” ujarnya seraya terkekeh.

Perjuangan nakes tak ada hentinya selama setahun lebih ini, sejak awal kasus Covid-19 ditemukan di Indonesia. Pada awal pandemi, kita banyak mendengar berita diskriminasi dan sanksi sosial yang dialami oleh nakes yang bertugas menangani kasus Covid-19. Pak Widy tak luput dari kejadian menyedihkan tersebut.

“Saat itu istri harus melahirkan dengan operasi sesar. Saat pandemi, semua yang akan dioperasi harus di-swab. Istri saya memang tidak ada gejala sama sekali. Tapi, ketika hasil tes keluar, istri saya positif. Wah, di situ benar-benar blank. Prosedur yang selama ini paham step-by-step jadi buyar. Saat itu tidak ada yang support. Sedih sekali istri mau melahirkan, tapi pikiran kacau. Seharusnya, ketika ada yang kena, kita beri dukungan. Jangan didiskriminasi dan diberikan sanksi sosial, karena itu hanya akan membuat mereka down dan imunnya turun,” tuturnya.

Di tengah keadaan sulit sekarang, untungnya masih ada keluarga yang jadi penyemangat. Berbagi cerita dengan keluarga dan nakes yang senasib sepenanggungan menjadi penghiburan bagi Pak Widy. Nah, kita, sebagai masyarakat, juga bisa membantu nakes lewat hal-hal kecil. Bantu edukasi teman atau keluarga kita yang masih percaya hoaks Covid-19. Lalu, tentu saja, tahan dulu keinginan untuk keluar rumah dan patuhi protokol kesehatan dengan disiplin bila keadaan mendesak untuk berada di ruang publik.

[5 Mitos Vaksin dan Faktanya yang Harus Kamu Tahu]

dr. Nanda Chaerully — Puskesmas Matraman

Dokter Nanda bertugas di Puskesmas Matraman. Sejak akhir Januari 2020, instansinya sudah melakukan sosialisasi kewaspadaan Covid-19. “Bahkan, saat itu namanya masih Novel Coronavirus, bukan Covid-19 seperti sekarang,” jelas dr. Nanda. Kala itu, ia dan rekan-rekannya masih bertugas di dalam ruangan, namun sudah menggunakan masker dan menjaga jarak.

Ketika kasus Covid-19 mulai muncul, nakes di Puskesmas Matraman sempat menggunakan jas hujan sebagai APD. Untuk face shield, mereka terpaksa harus “kreatif” memanfaatkan bandana, mika, dan paper clip, sebab kondisi saat itu masih sangat membingungkan. Belum ada pedoman yang pakem mengenai APD untuk bertugas. Kendala juga muncul karena lokasi tempat dr. Nanda bertugas tak memiliki sirkulasi udara yang memadai. Kepala Puskesmas dan Kepala Satuan Pelaksana (Kasatpel) pun memutuskan untuk melakukan pelayanan di area parkir dengan menggunakan tenda. Pelayanan lab, farmasi, dan poli semuanya dilakukan di area parkir, kecuali Instalasi Gawat Darurat (IGD). Selain perubahan tata letak tempat bertugas, kebiasaan-kebiasaan sederhana yang biasanya dilakukan tanpa pikir panjang kini harus diperhitungkan.

“Kami kan menggunakan masker N95, kalau berbicara harus keras supaya terdengar oleh pasien. Apalagi kalau lagi pelayanan di area parkir, ya harus agak teriak-teriakan,” kisahnya. “Sesederhana ke kamar mandi pun harus dipikirkan berkali-kali, karena banyak karyawan yang positif. Kami bingung harus ke kamar mandi mana, karena hampir di tiap lantai ada karyawan positif. Ya udahlah, bismillah aja. Kita semprot-semprot, cuci tangan, itu sudah pasti. Tapi, rasa khawatir saat menggunakan kamar mandi itu ada banget,” tambahnya.

Kebiasaan makan bersama teman sejawat sekarang hanya kenangan bagi dr. Nanda dan nakes-nakes lain yang bertugas. “Setelah pandemi, makan wajib bergantian, karena tidak boleh membuka masker berbarengan. Membuka masker tuh ibarat membuka jilbablah, kalau kami bilang. Jangan sampai buka masker sembarangan, karena kami harus menjaga diri, keluarga, dan rekan-rekan. Kalau ada yang mau minum pasti bilang dulu, ‘Eh, aku mau buka masker ya, mau minum.’ Sampai seperti itu jika sedang di ruangan, karena kami tak ingin saling menularkan,” tandas dr. Nanda.

Pada masa vaksinasi yang tengah gencar dilaksanakan, dr. Nanda mendapat tugas sebagai pemegang hotline Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Selama bertugas, ia merasa informasi yang tersebar di masyarakat masih kurang. Ini pun bisa menjadi beban tambahan bagi nakes.

“Ada yang bertanya, ‘Mengapa setelah vaksinasi, hasil tes antigen saya positif?’ Berkali-kali saya menjelaskan bahwa itu bukan efek vaksin. Bisa saja memang sebelum vaksin orang tersebut sudah terinfeksi Covid-19, makanya hasil tesnya positif. Lalu, orang-orang yang sudah divaksin juga ada yang malah jadi mengabaikan protokol kesehatan. Padahal, setelah divaksin, kita juga harus tetap taat prokes,” jelasnya.

[Hal-hal yang Dilakukan Setelah Vaksinasi Covid-19]

Selain melakukan penyuluhan kepada masyarakat, sosialisasi yang tak kalah berat justru kepada keluarga sendiri. dr. Nanda membagikan ceritanya ketika pamannya meninggal karena Covid-19. Saat itu, berat sekali baginya untuk meyakinkan keluarga, terutama ayah dan ibunya yang sudah tua, serta tante-tantenya yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung, agar tak mengikuti prosesi pemakaman secara langsung. Ia menguatkan dirinya sendiri dan membujuk keluarganya bahwa prosedur yang telah dibuat adalah demi keselamatan bersama. Untungnya, usaha dan kesabaran dr. Nanda berbuah baik. Keluarganya menuruti anjurannya.

Di tengah kasus Covid-19 yang meroket, dr. Nanda berpesan, khususnya kepada orang tua, agar lebih cermat terhadap keselamatan anak. Apalagi sekarang kasus Covid-19 pada anak semakin memprihatinkan.

“Untuk orang tua, kalau bisa, jangan mengajak anak bepergian. Kadang ada yang orang tuanya pakai masker, anaknya tidak. Padahal, anak-anak berpotensi untuk terinfeksi. Terapkan cuci tangan enam langkah untuk membersihkan seluruh bagian tangan. Jaga jarak, dan terakhir, ikut vaksinasi Covid-19,” pesannya.

dr. Clara Adrina — Residen Patologi Klinik, Universitas Indonesia

Di tengah wabah Covid-19, dr. Clara yang saat ini menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) harus merelakan waktu belajarnya, demi tugas melakukan pemeriksaan diagnosis Covid-19. Sebelum pandemi, normalnya ia hanya bertugas maksimal empat kali dalam sebulan. Kini, ia harus bertugas dua kali dalam seminggu. Otomatis waktu untuk diskusi bersama konsulen pun berkurang.

“Beban kerja tentu bertambah sekali. Selain melakukan tes PCR, Antigen, dan Antibodi ke nakes ataupun pasien, saya juga harus melakukan contact tracing,” papar dr. Clara. Ketika ditanya apa yang paling dirindukannya, ia menjawab, “Dulu kita bebas bernapas dan masker bukanlah kewajiban. Sekarang kita ibarat tahanan kota, tidak bisa ke mana-mana. Ruang gerak terbatas.” Ia melanjutkan, “Masalah terbesar sekarang adalah kasus terus meningkat, sementara nakes berkurang. Di tempat saya bekerja, sudah banyak yang positif dan harus isoman, sehingga pekerjaannya dibebankan ke teman sejawat lain. Sementara, lab kami harus buka 24 jam. Akibat kurangnya nakes, kami pun meminta bantuan tenaga dari luar, agar bisa terus menerima pendaftaran.”

“Kasus Covid-19 sekarang itu kayak tiba-tiba ke puncak, tinggi sekali! Saat saya approve hasil tes PCR, biasanya tuh yang positif di bawah 50%. Pemeriksaan tes PCR biasanya dilakukan sebanyak 5–6 batch. Tiap batch berisi 100 pemeriksaan, berarti ada 500–600 pemeriksaan. Sekarang, 80% dari pemeriksaan tersebut hasilnya positif. Saya juga mendapatkan kabar dari teman-teman, bahkan BOR (Bed Occupancy Rate atau Keterisian Tempat Tidur) IGD RSCM mencapai 200%. Pasien membawa kursi sendiri saking tidak ada tempat,” ceritanya.

Tak hanya tekanan dari tempatnya bertugas, dr. Clara pernah merasa kalut pula saat orang tuanya dinyatakan positif Covid-19. Mencari rumah sakit yang bisa menerima pasien baru rasanya mustahil, karena banyak yang sudah penuh.

“Kita bisa memberikan penyuluhan kepada masyarakat, tapi ketika hal tersebut terjadi ke keluarga inti, duh, beda banget deh! Logika enggak bisa dipakai lagi. Betapa paniknya ketika orang tua mulai desaturasi dan susah cari rumah sakit. Waktu akhirnya saya mengantar orang tua ke IGD pun berat sekali. Saya berpikir, jangan sampai ini terakhir kalinya saya bertemu orang tua. Karena kita semua tahu, kan, pasien Covid tidak bisa dijenguk layaknya pasien biasa. Pokoknya, jangan sampai keluarga kena, karena logika benar-benar enggak bisa jalan, stres,” kenangnya.

Kesadaran masyarakat terhadap keselamatan diri sendiri dan orang lain juga masih kurang selama pandemi ini. Smartcitizen tentu paham dong, kita wajib melakukan tes PCR bila mulai bergejala Covid-19, agar mendapat penanganan yang tepat. Namun, nyatanya, ada saja tingkah ajaib yang ditemukan dr. Clara.

“Jadi, ada orang yang tes PCR, karena dia memang bergejala. Lalu ia tanya, ‘Dok, hasilnya sudah bisa diambil besok kan?’ Saya jawab, ‘Oh, iya, bisa, Bu.’ Terus dia jawab, ‘Oh, bagus, soalnya hari Sabtu saya mau kondangan’. Saya betul-betul enggak habis pikir, kenapa motivasinya seperti itu? Ini kan tes untuk keselamatan diri dan lingkungan, bukan untuk event-event hajatan,” paparnya.

Tekanan berat yang dirasakannya membuat dr. Clara sempat mendatangi psikolog dan psikiater. Untuk menghibur diri, ia membagikan ceritanya kepada teman-teman. Menonton serta membaca juga menjadi sumber kesenangan baginya.

“Jangan egois, jangan merasa diri kita sehat kemudian abai dengan orang sekitar kita. Kita tidak tahu kondisi orang tersebut. Parah kan, kalau kita yang menularkan virus kepada mereka. Intinya, kita harus terus saling jaga dan terus lakukan protokol kesehatan,” pesannya.

Smartcitizen, yuk, kita sama-sama berjuang mengakhiri pandemi ini. Bila kamu termasuk orang beruntung yang bisa tinggal di rumah saat pandemi, manfaatkanlah kemewahan itu. Rasa bosan kita karena tak bisa hang out, tentu tidak sebanding dengan kerja keras nakes yang sudah berjuang melindungi masyarakat. Keselamatan diri, keluarga, serta orang lain adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya nakes. Jadi, lakukan terus 5M untuk melindungi diri masing-masing. Jangan lupa, kalau kamu melihat pelanggaran di Jakarta selama PPKM Darurat, laporkan lewat JAKI yang bisa kamu unduh di Google Play Store dan App Store. Pastikan kamu melapor dengan benar atau lihat panduan melapor yang benar di sini. Oh, satu lagi! Segera daftarkan dirimu untuk vaksinasi lewat JAKI atau vaksinasi-corona.jakarta.go.id. Semoga Indonesia segera pulih!

Warga Jakarta

Bagikan :


Penulis

Teresa Simorangkir

A writer and a lifelong learner.

Artikel Terkait

Ruang Publik di Jakarta yang Mewajibkan Sertifikat Vaksinasi

23 Agustus 2021

Ini Cara Mengetahui Zona Merah Covid-19 di Jakarta

20 Mei 2021

Cari Tahu Tiga Level Risiko Hasil Tes CLM

28 Juli 2020

Kisah Kita Bertahan di Setahun Pandemi

05 Maret 2021

Kebijakan Vaksinasi di Jakarta untuk Warga KTP Non-DKI

21 Oktober 2021