Cerita Pengalaman Orang Tua Vaksinasi Covid-19 Anak-anaknya
Sebagai orang dewasa, Smartcitizen barangkali sudah tahu pentingnya vaksinasi bagi tubuh selama pandemi Covid-19. Sehingga, kita biasanya bisa mengambil keputusan sendiri serta sukarela untuk divaksin. Namun, pernahkah terbersit di benakmu, bagaimana dengan anak-anak yang umumnya belum terlalu paham mengenai vaksinasi? Orang tua tentunya berperan penting di balik kesediaan dan keinginan anak untuk divaksin. Tim Jakarta Smart City berkesempatan mengobrol dengan dua ibu yang ingin berbagi pengalaman mereka tentang vaksinasi anaknya. Yuk, baca selengkapnya.
Rika Zikriyyah: Persiapkan Anak Vaksinasi Sejak Awal
Narasumber pertama kami adalah Rika Zikriyyah, biasa disapa Rika, seorang Pegawai Negeri Sipil Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik DKI Jakarta. Ia memiliki dua anak, yakni Azka yang berusia 11 tahun dan Azri yang berumur 4 tahun. Memenuhi kriteria usia penerima vaksin, Azka, sang anak sulung, telah mengikuti vaksinasi dosis 1 pada 6 Januari 2022 dan dosis 2 pada 7 Februari 2022 lalu. Saat berbincang-bincang sore itu, Rika menceritakan bahwa sejak awal pandemi, ia dan suaminya sudah mengedukasi anak-anaknya terkait protokol kesehatan, termasuk vaksinasi. “Kami membiasakan Azka dan Azri makan makanan yang sehat, olahraga, jaga kebersihan, tidur yang cukup, agar enggak mudah terserang virus. Sewaktu ada agenda vaksinasi untuk warga Jakarta, kami menjelaskan kepada mereka tentang vaksinasi serta fungsi vaksin agar perlindungan dari olahraga, asupan gizi, dan lainnya yang sudah dibentuk tadi makin optimal, supaya Covid-19 enggak masuk ke tubuh,” tutur Rika. Edukasi sejak awal yang diberikan Rika dan suaminya tersebut menumbuhkan kepedulian terhadap vaksinasi dalam diri Azka. Ia justru bersemangat ingin divaksin, jauh sebelum vaksinasi untuk anak diselenggarakan. “Dulu dia suka nanya, Bu, kapan Azka divaksin? Katanya ingin cepat bisa ikut main di luar rumah dengan lebih nyaman,” celetuk Rika sembari membayangkan polah tingkah putranya.
Hingga akhirnya vaksinasi anak usia 6–11 tahun pun digelar. Rika mengaku tak kesulitan mendapatkan informasi mengenai penyelenggaraan vaksinasi anak, karena pekerjaannya di pemerintahan membuatnya mudah mempeoleh informasi. Ia pun langsung berencana mendaftarkan Azka vaksinasi. “Awalnya saya ingin daftarin vaksinasi lewat JAKI, biar praktis dan bisa pilih jadwal serta lokasi. Tapi ternyata, sekolah Azka mengadakan vaksinasi dan kami memutuskan untuk mendaftarkan Azka vaksinasi di sana,” sambungnya.
Vaksinasi Azka Berjalan Lancar
Setelah pendaftaran vaksinasi beres, Rika dan suami pun mempersiapkan serta mendampingi Azka untuk fase berikutnya, yakni vaksinasi itu sendiri. “Untuk persiapan, enggak ada yang khusus. Hanya saja kami mengingatkan Azka, untuk mengurangi intensitas main sebelum dan setelah vaksinasi, agar tubuhnya enggak kelelahan,” ujarnya. Pada saat vaksinasi, Rika mengaku tak ada kendala yang berarti. Tidak ada antrean menumpuk. Alur dan pembagian jadwal vaksinasi dieksekusi dengan baik. Pihak sekolah sudah memberikan edukasi mengenai vaksin saat kegiatan belajar mengajar sejak jauh hari. Azka yang sedari awal antusias untuk divaksin pun tak ciut nyali di lokasi vaksinasi. Barangkali karena ia sudah kelas 5 SD dan pernah divaksin sebelumnya. Meskipun begitu, Rika menceritakan ada beberapa murid lebih muda yang menolak divaksin saat melihat jarum suntik. Untungnya, pihak tenaga kesehatan yang bertugas piawai mengalihkan perhatian anak-anak penerima vaksin, sehingga mereka tidak menyadari bahwa sudah disuntik. Setelah divaksin, Azka juga tak mengalami KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) signifikan, selain merasa pegal di area suntikan.
Vaksin Bantu Anak Mendapatkan Hak-haknya
Keberanian Azka untuk divaksin memang patut diacungi jempol. Bukan perkara tak takut jarum suntik semata. Lebih dari itu, anak seusia dirinya sudah menyadari pentingnya divaksin, untuk menjaga kesehatan diri sendiri dan orang lain di tengah pandemi. Namun, bagaimana dengan orang tua? Apa yang membuat Rika dan suaminya berani serta yakin untuk mendaftarkan vaksinasi anak mereka? Pertanyaan ini dijawab Rika dengan tegas, “Anak punya hak-hak yang sudah sepantasnya ia dapatkan. Sekolah di Jakarta pada saat itu mulai menerapkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Bersekolah tatap muka dan bersosialisasi ini adalah hak anak. Jadi, saya sebagai orang tua harus mengupayakan agar mereka bisa mendapatkan haknya, dengan tetap terlindungi dari Covid-19. Salah satu caranya dengan divaksin.”
Lebih dari sekadar pelindung tubuh, yakni jembatan antara anak-anak dengan haknya untuk bersekolah dan bersosialisasi. Itulah makna vaksinasi anak bagi Rika. Oleh karena itu, ke depannya ia dan suami akan tetap membiasakan anak untuk menerapkan protokol kesehatan serta mengarahkan mereka untuk vaksinasi. Ia juga menganjurkan orang tua lainnya agar segera membawa anak usia 6 tahun ke atas untuk vaksinasi. “Sebenarnya dapat dipahami kalau ada orang tua yang khawatir efek vaksin kepada anaknya. Tapi, saya menilai, manfaat vaksin bagi imunitas tubuh lebih besar daripada KIPI yang kemungkinan dialami. Terlebih, anak-anak kadang luput perhatian terhadap protokol kesehatan, sementara mereka perlu mengikuti PTM yang menjadi haknya. Jadi, kenapa tidak vaksinasi?” ujar Rika menutup perbincangan kami hari itu.
Esty Nuryaningsih: Menjadikan Diri Sendiri Contoh Bagi Anak
Cerita lain tentang vaksinasi anak datang dari Esty Nuryaningsih yang biasa disapa Esty. Sebagai wartawan di sebuah stasiun televisi swasta, ia memperoleh cukup informasi mengenai agenda vaksinasi. Saat pertama kali mengetahui ada vaksinasi untuk anak berusia 6 tahun ke atas, Esty langsung mendaftarkan anak bungsunya, Mika, yang berusia 7 tahun untuk divaksin. Setali tiga uang dengan Rika, sebelumnya Esty dan suaminya telah lebih dulu membekali anak-anaknya dengan informasi seputar vaksinasi dan protokol kesehatan Covid-19. “Anak-anak biasanya meniru perilaku orang dewasa. Jadi, aku dan suami sepakat untuk mengedukasi anak tentang vaksinasi ataupun prokes dengan mulai dari diri sendiri. Kita selalu jaga jarak sama orang lain dan pakai masker, bahkan kalau hanya untuk ambil paket di halaman rumah,” ujarnya. Selain memberi contoh, Esty dan suami pun melakukan edukasi verbal yang dikemas dengan bahasa ringan agar mudah dimengerti anak. “Biasanya, aku mengibaratkan vaksin itu sebagai jagoan. Aku wanti-wanti Mika, kalau Mika divaksin, nanti akan banyak jagoan dalam tubuh Mika, Covid-19 juga bakal kalah lawan jagoan. Tapi, kalau enggak divaksin, badannya bakal sakit karena enggak ada jagoan-jagoannya,” ungkap Esty.
Mika semangat divaksin Covid-19
Sementara itu, terkait persiapan menjelang vaksinasi anak, Esty mengaku tak ada yang khusus. Berkaca dari pengalamannya yang sempat mengalami KIPI agak berat karena begadang, ia hanya berpesan kepada Mika agar makan teratur dan tidur dengan cukup. Seluruh edukasi dan persiapan vaksinasi tersebut terbukti ampuh. Saat gilirannya untuk divaksin, Mika sama sekali tak takut. Petugas vaksinasi juga mampu membuat suasana menjadi nyaman, sehingga Mika semakin percaya diri dan bersemangat. Setelah vaksinasi, ia juga tak mengalami KIPI berat. Hanya lengannya terasa pegal selama 2–3 hari. Namun syukurnya, hal itu tak mengganggu kegiatannya sehari-hari.
Lalu, apa yang meyakinkan diri Esty untuk membawa anaknya vaksinasi? Terlepas dari perdebatan yang ada dalam masyarakat, ia yakin bahwa vaksin Covid-19 sangat diperlukan sebagai bentuk perlindungan diri pada masa genting ini. Apalagi saat itu, Mika akan segera menjalani PTM. Sebagai orang tua, Esty tak mengizinkan bila anaknya PTM dalam keadaan belum divaksin. “Meskipun anak sudah teredukasi di rumah dan di sekolah, bisa saja mereka lupa untuk menerapkan prokes saat sedang bermain dengan teman-temannya. Dengan anak sudah divaksin, setidaknya saya lebih lega karena tubuhnya sudah lebih terlindungi,” tambahnya.
Vaksin Kurangi Risiko Saat Mika Positif Covid-19
Ada satu hal menarik dari wawancara bersama Esty. Ia bercerita bahwa Mika sempat terkonfirmasi positif Covid-19, walau sudah dua kali divaksin Mulanya, sang ayah yang pertama kali positif Covid-19 di rumah. Lalu, esoknya seluruh anggota keluarga pun dites PCR. Pada saat itu, hasil Mika negatif. Tetapi, mereka semua tetap melakukan isolasi mandiri. Kemudian, ketika tes Exit PCR, barulah Mika dinyatakan positif. Alhasil, ia melanjutkan isolasi mandiri selama beberapa hari. Walaupun begitu, Mika tidak merasakan gejala sama sekali dan dapat kembali negatif dalam lima hari. “Saya sangat bersyukur Mika sudah divaksin pada saat itu, sehingga pemulihannya cepat dan tanpa gejala. Mungkin akan beda cerita bila saat itu ia belum divaksin,” ujar Esty.
Dari pengalaman tersebut, kita bisa menyimpulkan kalau vaksin tidaklah sia-sia, bahkan ketika seseorang terinfeksi Covid-19 setelahnya. Vaksin memang tak bisa menjamin penerimanya tidak terinfeksi Covid-19. Tetapi, proteksi yang diberikan vaksin akan membuat tubuh lebih kebal dan gejala lebih ringan bila terinfeksi. Rasanya manfaat sebesar ini tak patut disia-siakan. Karena itu, Esty mengajak orang tua untuk memvaksinasi anaknya. “Di tengah pandemi seperti sekarang, mendaftarkan anak vaksinasi bisa jadi bentuk rasa sayang kita sebagai orang tua. Makanya, bapak dan ibu segera vaksinasi anak, biar dia menjadi lebih kebal terhadap virus dan bisa berkegiatan lebih nyaman.”
Kedua kisah vaksinasi anak tadi telah membuka mata kita bahwa vaksinasi bukan sekadar perlindungan bagi tubuh, tetapi juga bagian dari hak anak. Vaksin pun bukan hanya menghindari terinfeksi Covid-19, namun juga untuk melindungi tubuh dari efek lebih lanjut. Karena itu, jika kamu peduli dan ingin anak-anak di keluargamu bisa bersekolah serta berkegiatan dengan lebih aman, segera daftarkan mereka untuk vaksinasi. Pendaftaran vaksinasi dapat dilakukan melalui website Jakarta Tanggap Covid-19 ataupun JAKI. Belum memiliki aplikasi JAKI? Tenang, kamu bisa unduh kapan saja di Google Play Store ataupun Apple App Store.